Merevitalisasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Hukum

Merevitalisasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Hukum

Hukum dapat didefinisikan secara luas maupun sempit. Semisal didefinisikan sempit hukum dapat dimaknai apa yang terkandung dalam suatu undang-undang. Bilamana dalam pengaplikasiannya suatu undang-undang tersebut mengalami kesulitan karena kaburnya suatu makna maka baru dipakailah perluasan daripada hukum tersebut.

Pada awal terpilih-nya Presiden Joko Widodo merencanakan suatu pembaharuan hukum yang diistilahkan dengan Omnibus Law. Omnibus Law bukan suatu hal yang baru dalam kajian hukum namun istilahnya yang diperbaharui, ada beberapa pendekatan konsep yang hampir mirip dengan Omnibus Law semisal unifikasi hukum (penyatuan hukum), deregulasi (penyederhanaan aturan-aturan) dan beberapa konsep lain terkait pembaharuan dan penyederhanaan hukum. Ditinjau daripada pendekatan pembentukan hukum (undang-undang) mekanisme pembentukannya akan sama meskipun istilahnya berbeda, yang dipergunakan adalah mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan masyarakat berhak berpartisipasi dalam hal mengajukan masukan terhadap muatan suatu peraturan perundang-undangan (berdasarkan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Hal demikian menjadi wajar dikarenakan segala jenis regulasi akhirnya akan mengatur bagaimana masyarakat harus hidup dan berinteraksi. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai “media” yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi.

Meskipun dikatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam kaitannya memberi masukan terhadap muatan suatu peraturan perundang-undangan adalah hak dan dari beberapa “media” partisipasi yang telah disebutkan umum terdengar dilaksanakan namun nampaknya partisipasi masyarakat ini hanya sebagai formalitas pembentukan hukum saja dan hanya ditujukan untuk menjaga citra negara demokrasi. Nyatanya masukan dari masyarakat kebanyakan sama sekali tidak dipakai dalam muatan suatu undang-undang yang telah terbentuk. Hal tersebut dapat disimpulkan jika melihat beberapa hal semisal dalam tugasnya selama didirikan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah menguji undang-undang sebanyak 671 –dapat dilihat di situs mkri.id (09/02/2020)- dalam perkara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan salah satu kewenangannya. Banyaknya undang-undang yang diuji menjadi suatu isyarat bahwa pada umumnya masyarakat yang tidak sepaham dengan suatu ketentuan undang-undang atau banyaknya masyarakat yang atas diberlakukannya suatu undang-undang hak-hak konstitusional-nya dirugikan. Indikasi lain adalah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan di akhir periode pemerintah sebelumnya yang menuntut suatu Rancangan Undang-Undang untuk tidak disahkan karena ketidaksepakatan masyarakat terhadap muatan beberapa Rancangan Undang-Undang.

Ketidakselarasan kebutuhan hukum masyarakat harusnya menjadi peringatan bagi pembentuk undang-undang –legislatif dan eksekutif- untuk merevitalisasi partisipasi masyarakat. Saluran-saluran yang ada sebetulnya jika dilaksanakan maksimal sudah dapat membantu terlaksananya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan syarat saluran-saluran “media” tersebut tidak hanya dijadikan ajang formalitas saja dan di kemudian hari dijadikan alasan berkilah bahwa para pembentuk hukum melibatkan masyarakat dalam prosesnya.

Partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan juga karena political will dari pemerintah yang ingin melakukan penyederhanaan, harmonisasi dan pembaharuan hukum melalui proyek yang dinamakan Omnibus Law nantinya menyasar beberapa tema peraturan belum tentu berpihak pada kebutuhan hukum masyarakat. Semisal baru saja dimulai pengerjaan pembuatan draf Rancangan Undang-Undang cipta lapangan kerja yang merupakan salah satu bagian dari proyek Omnibus Law, masyarakat sudah mulai memperkirakan bahwa jika terbentuk UU cipta lapangan kerja tersebut nantinya akan merugikan masyarakat, menjadi wajar kecurigaan masyarakat tersebut karena beberapa regulasi terdahulu lebih pro terhadap investor dibanding kepada kepentingan masyarakat pekerja, masyarakat yang memiliki tanah-tanah yang tergusur, dan masyarakat adat yang kekayaan ulayat-nya terus dieksploitasi atas dasar kepentingan para investor. Baru satu bagian dari proyek Omnibus Law sudah dirasa akan menimbulkan masalah, belum bagian-bagian yang lainnya semisal bidang perpajakan, pertanahan dan wacana paling hangat adalah pemindahan ibukota negara. Meminimalisir permasalahan yang merugikan tersebut maka pemerintah harus konsekuen untuk meningkatkan kualitas “media” saluran partisipasi masyarakat jika memang keberpihakan pemerintah pada masyarakat nyata adanya namun jika partisipasi ini tidak ditingkatkan kualitasnya maka tidak ada cara lain selain mendorong amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukan ketentuan pengesahan undang-undang melalui referendum  terbatas pada pengesahan suatu undang-undang (jajak pendapat oleh masyarakat).

Aang Sirojul Munir ( Ketua DPP GMNI Bidang Hukum dan Perundang- Undangan)

Tulus B Lumbantoruan (Kepala Badan Hukum dan Advokasi Gerakan)

Fitrah

Kepala Badan Bidang Informasi Dan Komunikasi DPP GMNI

This Post Has One Comment

Leave a Reply